Wujud Kebudayaan Islam di Ogan ilir


Wujud Kebudayaan Islam di Ogan ilir


Pesantren  Nurul  Islam

Pesantren  Nurul  Islam  udah  didirikan  tingkat  Tsanawiyah.  Berdirinya tingkat  Tsanawiyah  ini  terhitung  meraih  respon  positif  dari  masyarakat, khususnyamasyarakat Kabupaten Ogan Ilir dan kebanyakan penduduk Sumatera Selatan.Pondok Pesantren Nurul Islam mengalami puncak kejayaan dan populer di Sumatera Selatan sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an. Hal ini dikarenakan pendirinya Al-Mukarom K.H. Anwar bin H. Kumpul mempunyai keahlian pengetahuan di bidang ilmu-ilmu alat sepertiNahwu, Sharaf, Lughot, Bayan, Balaghah, Mantiqdan lain sebagainya.  Sehingga Pondok Pesantren Nurul Islam membawa ciri khas tersendiri.Kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Nurul Islam dilakukan pada pagi, sore, dan malam hari yang dikelompokkan kepada pendidikan resmi dan  pendidikan  non  formal.  Pondok  Pesantren  Nurul  Islam  meliputi  kesibukan kurikuler  dan  ekstrakurikuler.  Kurikuler  seperti  pengetahuan  alat  yang  terdiri  dari: tahlilan,  marhaban,  khutbah Jum’at.  Kursus-kursus:  bahasa  Arab  dan bahasaInggris. 

Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga 

Pondok  Pesantren  Raudhatul  Ulum  Sakatiga  merupakan  salah  satu pesantren  yang  cukup  populer  dan  tersohor  dikalangan  penduduk  propinsi Sumatera  Selatan.  Pesantren  ini  merupakan  estafet  dari  dua  madrasahdi  desa Sakatiga sebelum saat zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Madrasah Al-Falah dan Al-Shibyan merupakan cikal dapat berdirinya Pondok Pesantren Raudhatul Ulum.42Mudir  awal  dari  Pesantren  ini  adalah  K.H.  Abdullah  Kenalim  (tahun 1950-1984) beliau memimpinpesantren berikut selama 35 tahun.Tahun    1950    atas    kesepakatan    tokoh-tokoh    penduduk    Sakatiga Inderalaya,  propinsi  Sumatera  Selatan  dibentuklah  satu  panitia  tertentu  untuk melanjutkan dan membangkitkan lagi usaha-usaha yang pernah dirintis oleh madrasahAl-Falah dan Al-Shibyan sebelumnya.  Tanggal 1 Agustus 1950 panitia berikut menyepakati untuk mendirikan instansi pendidikan resmi yang diberi nama   Sekolah   Rakyat   Islam   (SRI),   yang   didalamnya   mencakup   Sekolah Menengah Agama Islam  (SMAI) atau  setara madrasah Tsanawiyah, dari ke dua nama  ini  (SRI  dan  SMAI)  kemudian  disederhanakan  lagi  jadi  sebuah instansi yang bernama: Perguruan Islam Raudhatul Ulum Sakatiga (PIRUS) dan nama  ini  sekaligus  dijadikan  nama  Yayasan  Perguruan  Islam  Raudhatul  Ulum Sakatiga (YAPIRUS) bersama dengan Akte Notaris Aminus Palembang No. 21.A 1966. Dibawah  YAPIRUS  ini  mulai  diperjelas  status/tingkatan pendidikan  yang  ada jadi  4  (Empat)  jenjang  pendidikan  formalyaitu:    Madrasah  Tahdhiriyah (TL),  Madrasah Ibtidaiyah (MI).Madrasah    Ibtidaiyah    adalah    madrasah    lanjutan    dari    madrasah Tahdhiriyah. Madrasah ini terus tumbuh dan berkembang sehingga dikenal oleh penduduk  sebagai  madrasah  yangberhasil  di dalam  membina  anak  didiknya. Selama mobilisasi jaman pendidikan santri dan santriwati diberikan pelajaran 

Ilhamudin, J. Suyuthi Pulungan, Nor Huda114JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020dengan   metode   yang   variatif   danberkesinambungan   oleh   para   pendidik, pengasuh  dan  terhitung  para  kyai  senior.  Mereka  ditanamkan  pembinaan  akhlakkarimah, wawasan keislaman dan ilmu-ilmu lazim serta berbagai keterampilan.Pendidikan di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum beri tambahan perhatian yang besar pada pengajaran bahasa Arab dan Inggris secara  aktif. Kedua bahasa tersebut, tak sekedar dijadikan bahasa pengantar lebih dari satu besar mata pelajaran, terhitung dijadikan   bahasa   percakapan   harian   santri.   Bahasa   Arab   dipandang   sangat penting,  dikarenakan  ia  Bahasa  Al-Qur'an  dan  As-Sunnah selainmerupakan  bahasa komunikasi  dunia  Islam,  sedang  bahasa  Inggris  dianggap  mutlak  dikarenakan merupakan  bahasa  Ilmu  Pengetahuan  dan  Teknologi  (IPTEK)  serta  bahasa komunikasi  internasional.  Dengan  kekuatan  berbahasa  berikut  banyak alumni PPRU yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya 

Pondok  Pesantren  Al-Ittifaqiah  yang  bermula  dari  Madrasah  Ibtidaiyah Siyasiyah IslamiahAlamiyah di Sakatiga, sebuah madrasah resmi bersama dengan jaman belajar   8   tahun.   Selama   10   tahun   madrasah   ini   lakukan   program pendidikannya  dibawah  rumah  penduduk.  Jumlah  muridnya  lebih  kurang  100 orang, K.H. Ishak Bahsin sendiri bertindak sebagai pimpinan dan guru, dibantu oleh lebih dari satu orang guru. Pada  10  Juli  1967  resmi  berdiri  MMA  Al-Ittifaqiah  di  Indralaya,  dan mendapat  surat  izin/persetujuan  Inspeksi  Pendidikan  Agama  Kantor  Wilayah Departemen   Agama   Propinsi   Sumatera   Selatan   tanggal   28   Juli   1967   No. 1796/AI/UM/F/1967.  Sedang  MMA  Sakatiga  beralih  status  jadi  MAAIN (sekarang  MAN  Sakatiga)  dan  MTsAIN  (sekarang  MTsN  Sakatiga).MMA  Al-Ittifaqiah Indralaya ini mempunyai dua tingkatan:Tsanawiyah (setara SMP) jaman belajar 4 tahun dan Aliyah (setara SMA) masabelajar 3 tahun. Sejak awal berdiri udah mempunyai 80 orang santri. Tempat belajar pada waktu itu menumpang di gedung  Madrasah  Ittifaqiah  Islamiah  (MII)  Indralaya  yang  terletak  di  dekat masjid Kubro Indralaya. MIIini udah berdiri 1 tahun sebelumnya. MIIsaat itu setingkat Ibtidaiah bersama dengan jaman belajar 4 tahun.Karena  setip  tahunnya  kuantitas  santri  makin lama  bertambah  dan  kesibukan pendidikan  serta  lainnya  terhitung  makin lama  banyak,  maka  pada  bulan  Juni  1991  Al-Mukarrom  K.H.  Ahmad  Qori  Nuri,  memanggil  pulang  anaknyaMudrik  Qori yang baru selesai kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab untuk menunjang beliau yang kemudian diangkat Yayasan sebagai Wakil Mudir.Atas  persetujuan  Mudir,  maka  Wakil  Mudir  menerapkan  3  siasat perkuatan  PPI;  membina  komunikasi  intensif  bersama dengan  pemerintah,  penduduk dan  sarana  (keterbukaan)  berkomitmen  memposisikan  diri  sebagai  instansi netral  dan  mandiri,  tidak  berpartai  dan  tidak  berafiliasi  kepada  organisasi tertentu  (independen)  dan  lakukan  pembaruan  yang  gawat  bersama dengan  selalu berpegang pada kebiasaan pesantren (pembaruan-modernisasi).

Mudir Fadhilatus Syeikh K.H. Ahmad Qori Nuri   wafat   di dalam   usia   85   tahun.   Sungguh   umat   kehilangan   sangat   besar. Kehilangan   teladan   mukhlis   sejati   (amat   dikenal   bersama dengan   keikhlasannya), mujahid besar, insan istiqomah di dalam pedidikan & dakwah, penyabar, dahsyat di dalam  perjuangan  (4  doktrin  beliau:  Ikhlas,  kerja  keras/mujahadah,  istiqomah dan sabar). Almarhum sangat pendidik sejati, terima yatim, anak sangat nakal, sangat bodoh dan amatmiskin  sebagai santrinya. Selalu berpesan jangan pernah  menampik  mereka.  Jangan  pernah  memberhentikan  santri  dikarenakan  soal bayaran. Beliau insan pengasih dan baik hati, sering memberi beras dan baju pada   santri   tidak   mampu,   gemar   bersedekah,   acap   kali   berhutang   untuk menunjang  orang  yang  memerlukan.  Paling  terusik  dan  sangat  peduli  terkecuali  ada orang  memiliki masalah  dan  udah  pasti  beliau  menyelesaikkannya,  meski  ia  sendiri membawa masalah.Almarhum hidup sederhana, mendahulukan keperluan Allah dan Rasul daripada keperluan  pribadi.  Mengalihkan  pemberian  untuk  rumahnya  yang udah  rukuk  dan  reyot  ke  pembangunan  fasiltas  pondok,  berbungkuk  badan melacak  kayu-papan  untuk  asrama  (bantuan  H.  Dakok,  H.  Abu  Hasan,  H. Syamsuddin  dan  H.  Syafei,  dll) padahal  rumahnya  sendiri bocor  dan  lebih dari satu dindingnya tembus cahaya. Kemana-mana melacak rizki untuk pondok. Kerap benar apa yang jadi hak pribadinya, dipersembahkan untuk pondok, tidak sebaliknya.Pada  tahun  1999,  PPI  memperkuat  organisasi  bersama dengan  membentuk  tiga lembaga,  yaituLembaga  Seni,  Olahraga  dan  Keterampilan  (LESGATRAM), Lembaga  Bahasa  (LEBAH)  dan  Lembaga  Dakwah  dan  Pengabdian  Masyarakat (LEDAPPMAS).   Sehingga   instansi   setara   di   pondok   ini   jadi   empat, melengkapi Lembaga Tahfidzh, Tilawah dan Ilmu Al-Qur’an (LEMTATIQI) yang berdiri pada tahun 1990.Melihat histori dari Tiga Pesantren di atas yang menerangkan bahwa mempunyai kesibukan yang nyaris sama terlebih di dalam kesibukan non formalanya terkandung kesibukan sepersti tahlilan, berzanji, marhaban. sehingga mmeberikan pengaruhbagi penduduk Ogan Ilir.2.Tradisi Secara awam banyak diungkapkan bahwa kebiasaan sama bermakna bersama dengan  budaya. Tradisi  dianggap  sebagai  suatu  kebiasaan,  maksudnya  bahwa  segala    keputusan  dan kebiasaan-kebiasaan  yang  mempunyai kandungan  unsur-unsur  atau  nilai-nilai budaya,  kebiasaan istiadat, yang berwujud turun temurun merupakan suatu yang  udah jadi tradisi, dan penduduk   atau   sekelompok   penduduk   secara   bersama   terlibat   di dalam melestarikan ataumelaksanakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud. Misalnya kebiasaan sadranan, suranan, sekaten, maupun  ruwatan. Sedangkan di dalam hukum Islam kebiasaan diistilahkan bersama dengan kata  u’rfyang bermakna kebiasaan istiadat atau kebiasaan.Tradisi merupakan kebiasaan yang diwariskan mencakup  berbagai nilai budaya yang meliputi adatistiadat dan kepercayaan. Biasanya suatu kebiasaan dijadikan sebagai 

Ilhamudin, J. Suyuthi Pulungan, Nor Huda116JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020perlambang  budaya  hidup  penduduk    cocok  bersama dengan  norma  hidup  dan  kebiasaan  yang melekat yang mencakup segala  konsepsi proses budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur  tindakan  atauperbuatan  manusia  di dalam  kehidupan  sosial.  Berikut  kebiasaan Islam di Ogan Ilir:

Tradisi Khotaman Al-Quran

Padamasa permualaan kehadiran Islam hingga jaman perkembangannya Al-Qurandipelajari  melalui  para kyaiyang  segera  mengajar  anak-anak  di langgar,  masjid  dan  di  rumah-rumah.  Kegiatan  belajar  agama  di mulai  bersama dengan belajar  mebaca Al-Quranatau biasa disebut penduduk bersama dengan “mengaji Al-Quran”. Mengaji Al-Quranmencakup  pelajaran  mengenal  huruf,  mengeja  dan membaca turutan43atau  juz amma(nama lain dari juz 30 pada Al-Quran)lalu diteruskan belajar membaca juz satu  dan seterusnya hingga tamat. Jika murid udah  selesai    (tamat)  belajar,  maka  diadakan  upacara khataman.Inilah tingkat  basic  pendidikan  agama.44Murid-murid  yang  belajar  berumur  enam hingga  sepuluh  tahun,  hingga  waktu  ini  metode  pembelarajan  ini  tetap  mampu dijumpai di desa-desa. Di samping kehadiran proses pembelajaran Al-Quranlewat program TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an).Kedua metode pembelajaran Al-Qurandi atas mempunyai ritual khataman pada akhir jaman studinya pada tiap-tiap jenjang, untuk proses TPA lebih dikenal bersama dengan acara wisuda santri. Namun untuk proses belajar “mengaji Al-Quran” atau sorogan (menghadap keguru satu persatu), lebih dikenal bersama dengan sebutan khataman Al-Quran.45Acara khataman Al-Qurandiselenggarakan untuk perorangan atau mampu terhitung  dilakukan  secara  kolektif.  Bila  dilakukan  perorangan  kebanyakan  dilakukan bersama dengan cara-cara sederhana, kesederhanaan acara berikut mampu diamati bersama dengan tidak  melibatkan  undangan  di  luar  kelompok  pengajian.  Murid  yang  dapat khatam   (menamatkan)   diharuskan   menanggung   jamuan   makan   malam sejumlah murid dan keluarga kyaidengan bentuk hidangan ala orang Arab (satu nampan berisi nasi, lauk dan sayur yang dimakan secara bersama-sama), sehabis acara resmi dilakukan yakni pembacan surat-surat pendek pada juz paling akhir dari ayat-ayat Al-Quranoleh murid yang dikhatam dilanjutkan pemberian nasehat, ucapan selamat dan doa kesusksesan oleh kyai).46Ritual ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas kesungguhan para murid  yang  disiplin  belajar Al-Quran,  beri tambahan  motifasi  bagi  para  murid-murid  lainnya  sehingga  selalu   bersemangat  di dalam  mempelajari Al-Quran, jamuan   makan   malam   oleh   keluarga   yang   anaknyadikhatam   merupakan sedekah sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT dan ungkapan terima kasih kepada kyaiyang udah edukatif anak-anak mereka di dalam bidang agama Islam. 

Marhaban Tradisi marhaban 

biasanya   dilakukan   pada   momen   kelahiran. Marhaban diisi bersama dengan pembacaan berzanji bersama dengan berirama. Yang seterusnya 

Sejarah Kebudayaan Islam di Ogan Hilir, 1934-2004JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020117diiringi  para  bagian  pembawa  minyak  wangi  yang  disemprotkan/percikkan kepada tiap-tiap peserta ritual, pembawa papan nama bayi, pembawa manisan yang berlabel nama si bayi, pembawa bendera-bendera kecil yang terbuat dari kertas yang berwarna dominan merah putih atau dari duit kertas, pembawa kronologis bungga yang harum dan indah. Yang kesemua kebiasaan itu merupakan simbolisasi dari doa orang tua pada jaman depan anaknya.Ritual  ini  di dalam  masyarakatOgan  Ilir  dilakukan  sebagai  lambang  rasa syukur  kepada  Allah  SWT  yang  udah  menganugerahkan  anak  keturunan, impian  hati  tambatan  jiwa,  baik  laki-laki  maupun  perempuan.  Istilah  yang populer di dalam penduduk Sumatera Selatan, terlebih di Ogan Ilir menyebutritual ini bersama dengan marhabahatau nyukur. Terdapat perbedaan pada marhabahdan nyukuryaitu  dari  segi  besar  kecil ritual  yang  diadakan  danjumlah undangan. 47Di  Ogan Ilir  tidak didapati ritual jaman kehamilan seperti di Jawa seperti ritual nuhjuh bulan. Kelahiran adalah isyarat awal dari kehidupan anak manusia. Oleh  dikarenakan  itu  dilakuakanlah  ritual marhabahyang  secara  etimologi  berasal dari bahasa Arab yang bermakna “selamat datang” makna simbolis dari ritual ini adalah  sebagai  ungkapan  selamat  singgah  kepada  bayi  yang  baru  dilahirkan, kebanyakan ritual ini dilakukan kala usia kelahiran bayi lebih dari empat puluh hari atau hingga batas kewajaran usia seorang bayi. Rangkaian  kesibukan  yang  terkandung  di dalam  ritual “marhaba”sebagai berikut: pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, pembacaan teks barzanjiatau teks nazomyang  merupakan  kumpulan  cerita  keluarga  nabi  Muhammad  dan  para sahabatnya  di dalam  bentuk  syair  yang  berbahasa  Arab.  Teks  syair  berikut dilantunkan bersama dengan seni bacaan yang yang banyak ragam dari berbagai lagu, pada lain lagu-lagu yang dikenal oleh penduduk Ogan Ilir di dalam ritual barzanjiatau nazomdan marhabah adalah, hijaz, maya, bayaty, mahur, yaman hijaz, manjaka, husaini, sika, jarka, hirob.48Kemudian  sehabis  pembacaan  teks barzanjiatau nazompara  bagian penduduk diminta berdiri dan bayi yang dimarhabakan diarak berkeliling para undangan  bersama dengan  diiringi  lantunan  syair marhabadengan  nada  keras  dan diiringi  para  bagian  pembawa  minyak  wangi  yang  disemprotkan/percikkan kepada tiap-tiap peserta ritual, pembawa papan nama bayi, pembawa manisan yang berlabel nama sibayi, pembawa bendera-bendera kecil yang terbuat dari kertas yang berwarna dominan merah putih atau dari duit kertas, pembawa kronologis bungga  yang  harum  dan  indah. Seluruh  kebiasaan  berikut  merupakan  simbolisasi dari doa orang tua pada jaman depan anaknya.Ritual ini, hingga saat ini tetap mampu dijumpai di dalam penduduk Ogan Ilir,   bersamaan   pertumbuhan   faham   keagamaan   Islam   yang   semangkin berkembang dan pemurnian ajaran Islam darihal-hal yang berwujud syirik, maka terjadilah  pengurangan  unsur-unsur  lokal  yang  bertentangan  bersama dengan  agama Islam seperti ada pembakaran kemenyan atau kayu gaharu yang dinilai bukan bagian dari kebiasaan Islam maka hal itu dihilangkan secara bertahap.49

Ilhamudin, J. Suyuthi Pulungan, Nor Huda118JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020

Perkawinan Ritual 

perkawinan  di dalam  penduduk  Ogan  Ilir  merupakan  kebiasaan  yang banyak  terbujuk  oleh  nilai-nilai  agama  Islam,  sehingga  sejak  pernah  kebiasaan perkawinan  ini  udah  dimasukkan  kedalam Undang-Undang  Simbur  Cahayayang menyita satu bab tersendiri yang berjudul bab Adat Bujang Gadis dan Kawin,50undang-undang berikut mengaturnya cukup jelas, dan untuk Ogan Ilir ada sedikit perbedaan dan tambahan bersama dengan daerah-daerah pedalaman lainnya pada umumnya.51Secara  lazim  deskripsi  pelaksanaan  kebiasaan  perkawinan  adalah  di mulai bersama dengan rasan mudo, bujang dan gadis sepakat untuk membagun rumah tangga. Rasan  Mudodiiringi  bersama dengan  kebiasaan Rasan  Tuo.Dalam  hal  ini  orang  tua  ke dua  belah  pihak  beri tambahan  persetujuan  dan  restu  atas  perjodohan  bujang  dan gadis  itu  bersama dengan  harapan sehingga  kehidupan  rumah  tangga  mereka  berjalan bersama dengan selamat dan langgeng. Persetujuan  dan  restu  ke dua  belah  pihak  ditentukan  oleh  kronologis tatacara   perkawinan   kebiasaan   Ogan   Ilir.   Salah   satu   bentuk   kronologis   kebiasaan perkawinan  sebelum saat  dilakukan  akad  nikah  adalah:  (1)Mutus  Rasan yakni mengambil keputusan  persetujuan  atau  penolakan  pada  keinginan  pihak  keluarga laki-laki,   dan   mengambil keputusan   berbagai   macam   persyaratan   kebiasaan   perkawinan, terhitung besarnya kuantitas duit jujur(pintaan orang tua mempelai perempuan);(2) Beterangan, yakni  menerangkan  perihal  hari  pelaksanaan  akad  nikah kepada  pihak  keluarga  perempuan,  pemangku  kebiasaan  dan  pemerintah  setempat serta menyerahkan duit jujur;(3) Mintak Wali,yaitu: menghendaki dan memperjelas siapa  yang  dapat  mewalihi  nikah  bagi  perempuanyang  dapat  dinikahi.  Setelah tahapan demi tahapan  barulah diselengggarakan  akad nikah yang bersendihkan ijab kabulsebagai syari’at Islam, akad nikah itu dilakukan di hadapan pejabat Kantor Urusan Agama.Upacara  pernikahan  itu  ditambah  bersama dengan  arak-arakan  dan  resepsi, sebagai  bagian  dari  upacara  kebiasaan  dan  ajaran  Islam  untuk  mengumumkan pernikahan   itu   kepada   penduduk   umum.   

Adat   perkawinan   seperti   ini dinamakan pernikahan  jujur atauadat  terang.52Karena  seluruh    kronologis  kebiasaan perkawinan   dilakukan   bersama dengan   rencana   yang   udah   diketahui   dan disetujui oleh orang tua ke dua belah pihak dan pemerintahan setempat.Sedangkan  perkawinan  yang  prosesnya  mulanya  bujang  dan  gadis  yang dambakan  menikah  belum  mendapat  persetujuan  dan  belum  diketahui  orang  tua ke dua belah pihak, atau sesungguhnya tidak disetujui oleh orang tuanya tapi bujang dan gadis selalu dambakan menikah, cara yang mereka lakukan adalah memintah perlindungana  kepada  Kepala  Desa  atau  Lurah,  kemudian  Kepala  Desa  atau Lurah  berikut  memberitahukan  kepada  orang  tua  ke dua  belah  pihak,  maka pihak keluargamulai mengadakan musyawarah mufakat apakah tekad pernikahan ini  dapat  terus  dilaknakan  ataukah  membatalkannya.  Bila  dicapai  kesepakatan untuk  lakukan  pernikahan  itu  maka  dilakukanlah  seperti kebiasaan  terang, tapi kalau tidak berjalan kesepakatan pada ke dua belah pihak maka pihak yang 

Sejarah Kebudayaan Islam di Ogan Hilir, 1934-2004JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020119membatalkan  tekad  perkawinan  itu  dikenai  denda  cocok  bersama dengan  aturan  kebiasaan sebagai tekap malu.53Namun  kalau  bujang  dan  gadis  selalu  dambakan  menikah  tanpa  wali  dari  nasabiah (keluarga), maka Kepala Desa/Lurah atau Pemangku Adat mengolah perkawinan  bujang  dan  gadis  berikut  ke  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan setempat, cocok bersama dengan pasal 6 ayat (1) dan ayat (6) Undang-undang No. 1 tahun 1974perkawinan seperti ini adalah diistilahkan bersama dengan kawin lari.54Perkawinan seperti   ini   hanya   berlaku   di   daerah   pedalaman   Palembang   saja   di   kota Palembang kebiasaan belarianataubenaik-ansebagai proses awal menuju kawin lari,tidak dikenal. 

Hal  ini  sesungguhnya  sebuah  kebiasaan  yang  mestinya  tidak  dilakukan  oleh bagian   penduduk   dikarenakan   dianggap   tidak   saling   menghormati,   tapi disebabkan  oleh  kondisi  dan  kondisi  terkadang  kebiasaan  ini  selalu  berlaku  di dalam penduduk Ogan Ilir bersama dengan alasan :Pertama, ada hambatan persetujuan dari pihak  keluarga,  atau  bujang  tidak  berani  melamar  gadis  kepada  orang  tuanya. Kedua,merupakan    jalur    pintas    untuk    menjauhkan    tahapan-tahapan perkawinanadat terangyang dianggap rumit dan mahal.Masyarakat Ogan Ilir waktu ini tidak sangat lagi  mengedepankan kuantitas duit jujurdalam menentukan jodoh dan untuk menjauhkan perbuatan-perbuatan yang asusila serta melanggar ajaran Islam, adat-adat perkawinan yang dianggap mampu  memberatkan  penduduk  mampu  ditolerir  di dalam  pelaksanaanya,  warisan kebiasaan bersama dengan duit jujuryang sangat tinggi udah sejak pertengahan abad ke-19 udah  mulai  di  perihal  oleh  ulama  dan  mendapat dukungan  oleh  kolonial  Belanda.56Sehingga  walau  kebiasaan  ini  tetap  dipakai  oleh  penduduk  Ogan  Ilir  tapi tidak jadi suatu hal aib kalau tidak mengikutinya.3.Masjid di Ogan Ilir Diantara  ratusan  masjid  bersejarah  di Indonesia  yang  ditulis  oleh Abdul  Baqir Zein  di dalam  bukunya Masjid-Masjid  Bersejarah  di  Indonesiaterdapat  dua  masjid  yang berada di dalam lokasi Kabupaten Ogan Ilir,yaitu Masjid Al-Abror yang terletak di desa Kerinjing dan Masjid Al-Falah di Tanjung Batu. Masjid Al-Abror didirikan pada tahun 1826 di lokasi utama di seberang Desa Kerinjing, yang dahulu disebut Desa Silam-Silam. Sedangkan Masjid Al-Falah secara pasti tidak ada seorang pun yang paham kapan  masjid  ini didirikan  karenatidak  ada  bukti,  namum  kabar  yangberedar  di Tanjung   Batu   bahwa   masjid   ini   dibangun   pada   jaman KesultananPalembang Darussalam.57Selain  dua  masjid  tersebut,  di dalam  perkembanganya  terkandung  lebih dari satu masjid lain yang berada di Ogan Ilir. Masjidtersebut pada lain:

Masjid Jami’ Darussholihin Desa Meranjat 

MasjidJami’ Darussholihin berada di Desa Meranjat, Kecamatan Indralaya Selatan  Ogan  Ilir.  Secara  pasti  tidak  diketahui  kapan  masjid  mulai  didirikan. Menurut  Pak  Mansur58seorang  sepuh  di  Desa  Meranjat  menyebutkan  bahwa 

Ilhamudin, J. Suyuthi Pulungan, Nor Huda120JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 2020semenjak ia kecil Masjid Jami’ Darussholihin udah berdiri. Akan tetapi, Masjid Jami’ Darussholihin tetap berwujud banguan dari papanatau kayu.Masjid Jami’ Darussholihin di renovasi pada tahun 1973, hingga  saat ini Masjid Jami’ Darrussholohin terus mengalami perubahan dari segi bangunan. kekhasan Masjid Jami’ Darussholihin ada pada pelaksanaan ibadah shalat Jum’at. Khatib  (pembaca  khutbah)  sebelum saat  menaiki  mimbar  berada  di  belakang  yang kemudian  di  kawal  oleh  seseorang  jamaah  bersama dengan  membawa  tongkat.  Tongkat melambangkan   kebesaran,   tak sekedar   itu   pula   sebagai   sunnah   yang   contohkan Rasulullah.59

Masjid Al-Qubro Indralaya

Masjid   Al-Qubro   Indralaya   merupakan   masjid   pertama   di   Indralaya, pertama kali dibangun pada tahun 1931. Pada tahun 2012 Masjid Al-Qubro lagi direnovasi bersama dengan jenis bangunan lebih indah dan modern.60Di dekat Masjid Al-Qubro.  Masjid Al-Qubro berada di pinggir Sungai Kelekar dan di tengah pemukiman penduduk  Indralaya.  Di  samping  Masjid  Al-Qubro  terkandung  makam  Sariman Raden  Kuning  Aria  Penangsang  (1512-1611  M).  Sariman  Raden  Kuning  adalah keturunan dari Raden Fatah Sultan Demak.

Masjid Al-Falah di Muara Penimbung

Masjid Al-Falah terlelat di Desa  Muara Penimbung, posisi masjid Al-Falah berada di pinggir sungai. Sungai berikut adalah anak  Sungai Ogan yang melintasi Kecamatan Pemulutan, Indralaya dan Indralaya selatan. Penjaga Masjid Al-Falah menyebutkan Masjid berikut udah lama berdiri dapat tapi tidak diketahui secara pasti   tahunnya.   Masjid   Al-Falah  mempunyai  kesamaan  bersama dengan  Masjid  Jami’ Darussholihin  Meranjat, yakni sang Khatib (pembaca khutbah) sebelum saat menaiki mimbar berada di posisi belakang yang kemudian di kawal oleh seseorang jamaah bersama dengan membawa tongkat sebagai lambang kebesaran. 

Tidak ada komentar untuk "Wujud Kebudayaan Islam di Ogan ilir"

Iklan Bawah Artikel